ISLAMISASI ILMU KONTEMPORER

22 07 2007

MELALUI tulisannya yang dimuat di situs ini (Aceh Institute) beberapa waktu lalu, Sahabat Mukhlisuddin Ilyas, S.Pd.I(Islamisasi Ilmu Pengetahuan) telah memaparkan secara global wawasan serta gagasan Islamisasi Ilmu. Sebuah apresiasi patut diberikan atas usahanya mengangkat wacana itu dalam tulisan mengingat ide yang mengemuka di kalangan pemikir Muslim sejak era 70-an itu masih dan tetap layak untuk dibahas serta dikaji dalam upaya bersama merajut sebuah peradaban yang berlandaskan nilai-nilai Islami.

Namun sedikit “catatan pinggir” sebagai tanggapan sekaligus koreksi perlu diberikan atas
sejumlah fallacy yang terdapat dalam tulisan tersebut, baik dalam mengutip pandangan pemikiran seperti Syed Muhammad Naquib Al-Attas, maupun dalam menyimpulkan konsep dasar serta latar belakang gagasan Islamisasi Ilmu.

Sejumlah Fallacy
Ada beberapa hal yang mesti ditelisik lebih jauh atas tulisan yang bertajuk “Islamisasi Ilmu Pengetahuan” tersebut. Di salah satu bagiannya, mungkin karena salah kutip, dikemukakan bahwa SMN Al-Attas menjelaskan jiwa utama kebudayaan dan peradaban Islamisasi Ilmu diringkas menjadi lima karakteristik yang saling berhubungan (inter-related characteristics): Mengandalkan kekuatan akal semata untuk membimbing manusia mengarungi kehidupan; Mengikuti dengan setia validitas pandangan dualistis mengenai realitas dan kebenaran; Membenarkan aspek temporal untuk memproyeksi sesuatu pandangan dunia sekuler; Pembelaan terhadap doktrin humanisme; serta peniruan terhadap drama dan tragedi yang dianggap sebagai realitas universal dalam kehidupan spiritual atau transedental.

Jika dirujuk lebih jauh dalam karyanya, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, Al-Attas menyebut ke lima faktor di atas sebagai hal-hal yang menjiwai budaya dan peradaban Barat, dan itu yang menjadi tekanan kritikannya. Bagaimana mungkin Al-Attas, seorang pemikir Muslim yang dengan tegas menolak paham humanisme justru berbalik mendukung doktrin tersebut?

Kekhawatiran Al-Attas berangkat dari pandangan bahwa ke lima elemen yang membentuk watak kebudayaan serta peradaban Barat itu, kini menular dalam semua bidang ilmu khususnya di bidang sains, ilmu-ilmu fisika dan terapan, dll, yang pada gilirannya menghasilkan manusia yang berwatak sekuleristik, materialistik, serta utilitarianistik (asas manfaat).

Kekhawatiran itu lantas berujung pada sikap penolakan beliau serta menyarankan agar unsur konsep utama Islam yang terdiri dari: manusia; diin (agama) ; ‘ilm (ilmu) dan ma’rifah (pengetahuan); hikmah; ‘adl (keadilan); amal-adab; serta konsep kulliyyah-jami’ah untuk mereposisi serta mengambil alih konsep-konsep dari Barat tersebut.

Dari sini gagasan Islamisasi ilmu diluncurkan melalui dua proses yang saling berhubungan: membuang unsur-unsur kunci yang membentuk budaya dan peradaban Barat dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat ini (kontemporer), serta menyerapkan konsep-konsep kunci Islam dalam setiap disiplin ilmu kontemporer yang relevan.

Perlu disebutkan pula, bahwa selain menggagas konsep Islamisasi ilmu, Al-Attas juga ‘bermain’ pada tataran kebahasaan (semantik). Inilah yang membedakannya dari Ismail Raji Al-Faruqi, misalnya, yang dulunya merupakan Guru Besar Studi Islam di Temple University, Philadelphia, Amerika Serikat, dan juga turut menggagas serta menyebarkan diskursus Islamisasi Ilmu tersebut.

Menurut pendapat Al-Attas, bahasa—tidak bisa tidak—sangat berkait erat dengan pemikiran dan konsep. Dan itu pada akhirnya akan membentuk suatu pandangan dunia (worldview/weltanschauung). Dalam menerjemahkan Islamisasi ilmu misalkan, Al-Faruqi cenderung mengalihbahasakannya dengan Islamiyyatul Ma’rifah atau Islamization of Knowledge, yang bermakna bahwa segala disiplin ilmu (baik kontemporer maupun tradisi Islam) mesti ‘di-Islamkan’.

Sedangkan Al-Attas justru menerjemahkannya dengan Islamiyyat al-‘Ulum al-Mu’ashirah atau padanannya dalam bahasa Inggris Islamization of Contemporary or
Present Day Knowledge. Jadi yang mesti melalui proses Islamisasi, dalam pandangan Al-Attas, hanyalah ilmu-ilmu kontemporer atau pengetahuan saat ini yang berpandangan-hidup Barat serta telah mengalami sekularisasi. Sementara tradisi Islam (ilmu-ilmu sains Islam berdasarkan Al-Qur’an), masih menurut Al-Attas, tak perlu lagi Islamisasi sebab ia tak pernah terpisah dari Tuhan sebagai sumber segala ilmu dan Hakikat sebenarnya.

Perbedaan yang tajam dalam penerjemahan dan pandangan ini mestilah diperhatikan agar tak keliru dalam memahami perbedaan mendasar gagasan serta konsep Islamisasi ilmu dari kedua pemikir.

Karena alasan kebahasaan pula Al-Attas tak mau menerjemahkan secara serampangan kata sekularisme sebagai ‘ilmaniyyah maupun ‘almaniyyah dalam bahasa Arab sebagaimana jamak dikenal orang. Sebab baik kata ‘ilmaniyyah (dari akar kata ‘ilm = ilmu) maupun ‘almaniyyah (dari akar kata ‘alam = alam) tak punya kaitan sama sekali dengan sekularisme seperti dikenal di Barat. Dan kedua kata itu juga mengandung makna yang positif, tapi tidak demikian halnya dengan sekularisme. Dari itu teranglah bahwa bahasa memiliki kaitan erat dengan konsep dan pemikiran, serta membentuk worldview.

Kritik atas Epistemologi Barat
Gagasan Islamisasi ilmu di kalangan pemikir Muslim merupakan program epistemologi
dalam rangka membangun (kembali) peradaban Islam. Hal ini disebabkan adanya perbedaan yang fundamental antara pandangan keilmuan dalam Islam dengan peradaban Barat pada tataran ontologi dan epistemologi.

Pada sisi ontologi, Barat modern hanya menjadikan alam nyata sebagai objek kajian dalam sains, sehingga pada gilirannya mereka hanya membatasi akal dan panca indra (empiris) sebagai epistemologinya. Hal itu tidaklah ganjil mengingat perkembangan ilmu dan dinamisasi peradaban di Barat bergeser dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya.

Sejarah pertentangan antara gerejawan dengan ilmuan; pergumulan yang tak harmonis melibatkan pemuka agama Kristen dengan para saintis di Eropa pada Abad Pertengahan (Dark Age) telah melahirkan desakan pencerahan pemikiran yang dikenal dengan Renaissance/Enlightenment/Aufklarung, masing-masing di Italia, Prancis, Inggris dan Jerman.

Keterkungkungan kaum gerejawan yang dianggap menghambat perkembangan ilmu pengetahuan dengan mengimani Bible yang telah banyak diselewengkan, hingga inkuisisi Galileo Galilea yang berpandangan Heliosentris (matahari sebagai pusat tata surya) dan bukan sebagaimana diyakini pemuka gereja yang Geosentris (bumi yang menjadi pusat tata surya), justru dijawab para ilmuwan Barat di masa pencerahan dengan “sekularisasi”.

Mereka menanggalkan agama karena dianggap telah menghadang perkembangan sains dan pengetahuan. Inilah yang dimaksud dengan perpindahan dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya tadi. Akibatnya epistemologi Barat modern-sekuler melahirkan faham-faham semisal eksistensialisme, materialisme, ateisme, empirisme, rasionalisme, kapitalisme, liberalisme, sosialisme, humanisme, relativisme, agnostisme, dll.

Epistemologi Barat demikian tampak jelas pada logika positivisme (al-Wadh’iyyah al-Manthiqiyyah) bahwa sumber pengetahuan hanya terdiri dari panca indra (empiris) serta akal, sehingga menurut mereka sesuatu dianggap “ilmu” dan “mengandung kebenaran” manakala bisa dibuktikan dengan menggunakan verifikasi logis dan verifikasi empiris. Dengan demikian logika positivisme hanya mementingkan wujud alam ini sebagai materi (physic) serta menepikan makna di balik materi (metaphysic).

Pernyataan itu dengan tegas diutarakan Immanuel Kant, filosof asal Jerman, bahwa metafisika tak memiliki nilai epistemologis (metaphysical assertions are without epistemological values). Perubahan ini kian bertambah ekstrim seiring munculnya Post-Modernisme yang, lewat dekonstruksinya, bukan saja menggugat setiap yang mapan, tetapi juga menggiring manusia ke arah relativisme-nihilistik. Di sinilah gagasan Islamisasi ilmu muncul melalui pendekatan epistemologi.

Dalam pandangan pemikir Muslim, untuk mengetahui hakekat realitas tidaklah cukup dengan menggunakan panca indra dan akal saja, tetapi ada dua unsur lain yang telah diketepikan Barat dalam membangun peradabannya, yaitu: wahyu (revelation) serta ilham (intuisi). Akan halnya wahyu, terang merupakan hal yang ditolak oleh Barat seiring munculnya zaman pencerahan. Sedangkan intuisi, meskipun tak dianggap sebagai sumber pengetahuan di Barat, namun beberapa istilah di kalangan saintis semisal kilatan pemikiran (flash of mind) bolehlah dikata “pengakuan tak langsung” akan ilham, yang pada dasarnya, juga merupakan sumber pengetahuan.

Perbedaan perspektif keilmuan antara Islam dengan Barat ini bermula dari perbedaan ontologis seperti disinggung tadi. Barat hanya membatasi fahamnya tentang wujud alam ini sebagai materi (physic), yang pada gilirannya mencukupkan akal dan panca indra saja sebagai landasan epistemologinya. Sedangkan perspektif keilmuan dalam Islam mementingkan kedua alam: ‘alam ghayb (metaphysic) dan ‘alam syahadah (physic), serta menerima wahyu sebagai sumber ilmu tentang kedua alam itu. Perbedaan tersebut pada akhirnya muncul karena keimanan dan pandangan-hidup (worldview) yang berbeda mengenai Realitas Akhir.

Berangkat dari sini, teranglah bahwa gagasan Islamisasi Ilmu Kontemporer—sebagaimana diistilahkan Al-Attas—merupakan jawaban sekaligus kritik terhadap krisis epistemologi yang melanda tak hanya Dunia Islam, tapi juga budaya dan peradaban Barat.

Khatimah

Gagasan Islamisasi Ilmu yang berkembang sejak era 70-an di kalangan pemikir Muslim pada dasarnya tidaklah dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan sikap apologetik umat Islam: “segalanya telah ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah.” Bukan pula untuk sekadar menambah embel-embel Islam sebagai ‘baju’ di setiap disiplin ilmu seperti psikologi Islam, sosiologi Islam, antropologi Islam, dll. yang disertai dengan sejumlah ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi guna menguatkan suatu teori atau pandangan. Lebih dari itu, konsep dan ide mulia tersebut berupaya melenyapkan pandangan sekularisasi yang telah mengangkangi fitrah kemanusiaan manusia dan menyebabkannya teralienasi dari tujuan memakmurkan bumi (khalifatulLah fil ardh) dan terasing dari hakikat serta tujuan hidup sebenarnya. WalLahu A’lam.


Actions

Information

One response

2 06 2007
Mr. Fulus

Salam,
Wah, tajam juga analisa teteh Fauziah ini…
Prolegomena Al-Attas itu sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia apa belum ya teh???

Salam,

Mr. Fulus

Leave a comment